Ini merupakan salah satu cerpen yang sudah pernah saya ikut sertakan
lomba semoga dapat bermanfaat bagi anda sekalian.
SETENGAH JALAN
Randi
Aprilian Subekti
Saat suasana hening, seorang pemuda sedang duduk
termenung didepan rumah sambil memandang bulan purnama. Ia sedang memikirkan
nasib masa depan dirinya yang sudah berumur dua puluh tiga tahun. Apakah ia
harus menikah atau tetap menekuni pekerjaannya. Sungguh kedua pilihan tersebut
membuat tidurnya tak bisa nyenyak.
Apalagi Kusno selalu dibayangi oleh pesan mendiang
ayahnya untuk mendalami ilmu agama. Agar kelak Kusno dapat hidup bahagia di
dunia dan di akherat. Sejak masih kecil, sebenarnya perilaku Kusno sedikit
nakal dan keras kepala dengan prinsipnya.
Tapi setelah ayahnya meninggal dunia, Kusno dapat
merubah perilaku buruk masa kecilnya dulu. Kini ia rajin bersujud dan selalu
menolong terhadap orang lain. Dengan sedikit harta pemberian Tuhan, Kusno tak
segan dermawan kepada orang-orang miskin dan terlantar.
Masyarakat sekitar masjid pun, sudah tak asing
lagi dengan suara kumandang adzan Kusno. Perlahan demi perlahan, banyak orang
yang ingin mendengarkan ceramah dari Kusno. Setiap kali berdakwah, Kusno selalu
memberikan senyuman kepada jamaah.
Ustad Ramli, itulah orang
populer masyarakat setempat. Ia merupakan orang gedongan dan terpandang. Kusno
merupakan salah satu murid dari beliau yang baru separuh ilmu.
Kusno menganggap Ustad
Ramli seperti ayah kandungnya sendiri. Ustad Ramli memiliki kepercayaan yang
besar terhadap Kusno. Jika beliau sedang berhalangan hadir berkotbah, Kusno lah
yang menggantikan posisi tempat berdirinya.
Seminggu sudah Kusno
tidak bertatap muka dengan Ustad Ramli, seketika ia memikirkannya. Lalu Kusno
mendapat telepon dari Bi Sumi, ia merupakan pembantu setia Ustad Ramli.
“kriiiiing” suara telepon Kusno berdering.
“Assalamualaikum…. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Kusno.
“Maaf nak Kusno, saya Bi Sumi”
“Oh bibi rupanya, ngomong-ngomong ada apa ya?” tanya Kusno.
“Anu.… anu….” Bi Sumi menjawab ragu-ragu.
“Anu apa, tinggal bilang saja kok Bi?” penasaran Kusno.
“Ustad Ramli sedang koma” dengan nada sedih.
“Apaaaaaaa?, Ustad Ramli koma” Kusno begitu terkejut mendengar
kabar tersebut.
Setelah telepon
dimatikan, Kusno menghempaskan tubuhnya diatas ranjang. Ia sangat tidak percaya
dengan kabar yang baru diterimanya tadi. Padahal selama ini Ustad Ramli
terlihat sehat dan jauh dari penyakit.
Kusno mencoba untuk
tenang sejenak. Sambil mengingat terakhir kali berjumpa dengan Ustad Ramli
sebelum koma. Air mata Kusno tak dapat dibendung oleh kesedihan hatinya.
Kusno baru mengerti
tentang kata-kata yang pernah dikatakan Ustad Ramli padanya. Bahwa Kusno harus
menjadi seorang ustad yang harus lebih baik daripada dirinya. Kusno semakin
sedih mengingat perkataan tersebut.
Ustad Ramli pernah
berbagi cerita tentang jalan berliku hidupnya sebelum menjadi seorang ustad.
Dulu ia memiliki perbuatan buruk, ia pernah mencuri, bermain kartu remi,
Mabok-mabokkan, dan hampir menghilangkan nyawa orang. Dua tahun kemudian beliau
mendapatkan pintu tobat.
Keesokan harinya, berita
kematian Ustad Ramli tersiar sampai ketelinga Kusno. Kusno sangat pilu dan
begitu terpukul. Ia seakan-akan kehilangan kembali sosok ayahnya yang kedua.
Bi Sumi turut berduka
cita atas kematian beliau. Kusno mencoba untuk menyabarkan diri atas cobaan
yang menimpanya. “Astagfirulloh” Kata-kata itu berulang kali diucapkan oleh
Kusno.
Jenazah Ustad Ramli
segera dimakamkan. Kini suara ceramah Ustad Ramli tak lagi terdengar. Kusno
juga sering mengabsenkan diri untuk tidak menyampaikan ceramahnya.
Kusno begitu menyayangi
dan menghormati almarhum Ustad Ramli. Sehingga kini ia tidak mau lagi
menyampaikan ceramahnya. Dan suara kumandang adzan Kusno pun berhenti menggema.
Kusno sangat berat
kehilangan sosok Ustad Ramli. Ia kini semakin menjauhi ilmu agama. Bi Sumi
turut perihatin, dan slalu mengingatkan bahwa itu merupakan cara yang keliru.
Bi Sumi tak
bosan-bosannya memberikan petuah kepada Kusno. Tapi Kusno selalu mengabaikan
dan membangkang. Bi Sumi selalu sabar menghadapi tingkah laku Kusno.
Suatu hari harta benda
milik Kusno habis tanpa manfaat, ia kini jatuh miskin. Ia bertambah stres
dengan jalan hidup yang dialaminya saat ini. “Pyak…. Pyak.…” suara vas bunga
dan berbagai benda yang pecah dibanting Kusno. Lalu Bi Sumi datang berkunjung
kerumahnya.
“Masa Allah, istigfar nak Kusno” jawab Bi Sumi sambil mengelus
dada.
“kenapa hidupku jadi miskin begini?”
“Itu semua karena ulahmu sendiri”
“Tuhan nggak adil” jawab Kusno sambil berteriak-teriak.
Sebenarnya Bi Sumi tak
sampai hati memasukan Kusno kedalam rumah sakit jiwa. Tapi mau bagaimana lagi,
perilaku Kusno dapat membahayakan dirinya sendiri dan juga orang lain. Pupus
sudah harapan Kusno yang sudah setengah jalan menjadi seorang ustad. Pesan
ayahnya dan pesan Ustad Ramli kini dilupakan oleh Kusno. Entah sampai kapan
Kusno dapat bebas dari rumah menderita tersebut.
“TAMAT”